Saturday, April 25, 2015

Copa America - Profesionalisme Sepak Indonesia Patut Dipertanyakan.


Sesungguhnya menjadi profesional (dan profesionalisme) itu menjadi tanpa empati. Tanpa perasaan. Tanpa ampun.

Sebuah sistem meritokrasi yang tak mengenal arti sahabat, saudara, perkoncoan, kongkalingkong, kemanjaan, melankoli, dan kelalaian. Sebuah ke-saklek-an yang tersistem.

Sebuah langgam (kerja) yang menyediakan tempat hanya bagi yang berusaha habis-habisan (terbaik) dan menyingkirkan yang santai-santai (tak mampu) tanpa belas kasihan.

Berasal dari kata bahasa Prancis kuno, profession, yang kira-kira berarti sebuah baiat ketika seseorang hendak memasuki sebuah ordo keagamaan (dan) atau juga dari kata Latin, professionem, yang berarti sebuah pernyataan (deklarasi) terbuka akan sebuah keahlian.

Profesionalisme adalah perilaku yang superserius. Pertanggungjawabannya bukan hanya ke sesama manusia tetapi juga karena persoalan aktualisasi diri dan sangat intens, pelukis Belanda terkenal Vincent Van Gogh sampai menyebutnya panggilan spiritual. Bertanggung jawab langsung ke Tuhan.

Ketika sumbu spiritual itu (di Eropa) getas di awal abad XX dan akhirnya benar-benar putus, arti profesional berevolusi menjadi mereka yang menyediakan jasa sesuai keahlian dengan standard terbaik, sepenuh hati, jujur, menjaga reputasi, bisa dipercaya, dan memenuhi hukum dan aturan. Sangat segmented (sempit—sangat hebat untuk wilayah keahliannya saja).

Memenuhi nilai-nilai hidup profesional lebih mudah mengatakan daripada menjalankan. Seseorang bisa saja sangat profesional tetapi karena segmented ia memerlukan sebuah lingkungan yang sama-sama profesionalnya untuk hidup. Kalau tidak hanya sebuah kesia-siaanlah yang akan ia dapat.

Pengelolaan sepakbola di Inggris mungkin salah satu contoh profesionalisme yang baik. Kita bukan hanya bisa melihat kedaulatan profesi. Kesadaran untuk menghormati wilayah keprofesionalan kewenangan. Tetapi juga sekaligus interaksi antarkelompok profesional yang mengikat.

Memperhatikan sepakbola Inggris, kita akan tersadarkan betapa begitu banyak lembaga pemerintahan yang sesungguhnya terlibat.

Pengelola kompetisi (dan FA) bekerja sama dengan setiap lembaga untuk memuluskan pengelolaan sepakbola di Inggris. Kalau lembaga pemerintah yang bersangkutan tidak puas dengan pemenuhan persyaratan yang mereka ajukan, lembaga-lembaga tersebut berhak menolak apapun yang diajukan oleh pengelola kompetisi maupun FA.

No comments:

Post a Comment